MAHABBAH


 
MAKALAH TAFSIR AYAT BKI 2
MAHABBAH
Dosen : Dr. Arpandi, Lc., M.A
Disusun Oleh :
Semester III
Nurlita Daeng Ngai     : 1341040016
 

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM (BKI)
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN LAMPUNG
1435 H/ 2014 M






KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah yang telah menjadikan setiap insan sederhana ini sebagai khalifah di bumi. Solawat teriring salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah SAW. Beserta keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam.
            Terselesaikannya penulisan makalah “TAFSIR AYAT BKI 2” dengan pokok bahasan “MAHABBAH ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kontribusi semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
            Makalah ini disajikan di samping sebagai  pemenuhan tugas kuliah, makalah ini juga disajikan guna menambah wawasan penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
            Akhir kata, tiada gading yang tak  retak. Penulis menyadari makalah ini masih sukar dikatakan sempurna maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran sebagai pemacu untuk pembuatan makalah di masa yang akan datang. 



Bandar Lampung, 15 Oktober 2014

Penulis,





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahabbah...................................................................................................... 2
B.     Dalil yang mendasari....................................................................................................... 4
C.     Asbabun Nuzul................................................................................................................ 5
D.    Tafsir................................................................................................................................ 6
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan...................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12




 


















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Era globalisasi kini banyak orang yang tidak paham dengan apa yang dimaksud dengan mahabbah dan pada siapa seharusnya diekspresikan sehingganya mereka salah mengartikan dan kondisi hidup yang miris. Pergaulan yang membuat mereka terbentuk pribadi-pribadi yang tidak sebagai mana mestinya pada syariat Islam.
Ironinya saat kegagalan yang ia peroleh Tuhan lah tumpuan pertama dan utama untuk disalahkan, tak pandang Ia pencipta ataupun penguasa alam yang terpenting adalah ia puas meluapkan nafsu syahwatnya.
Melihat realita yang ada selain pemenuhan nilai tugas mata kuliah yang ditentukan penulis berharap agar pembaca dan audiens mampu memahami makna mahabbah dan kepada siapa mahabbah di ekspresikan. Tumbuhnya rasa syukur, sabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan karena saat kita telah paham atas ciptaan-Nya maka cinta itu akan tumbuh dan berkembang sehingganya tak ada  keraguan lagi untuk menjadikan setiap geraknya adalah ibadah, nafas dan nadinya seakan aliran ayatullah serta hatinya yang selalu dipenuhi dengan asma-Nya .
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas dapat diambil rumusan masalah yaitu “Apa yang di maksud dengan Mahabbah dan kepada siapa cinta itu harus kita berikan?”

C.        Tujuan Penulisan
Ditinjau dari rumkkusan masalah yang ada maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar mengetahuai apa yang dimaksud dengan mahabbah dan kepada siapa cinta itu harus kita berikan




BAB II
PEMBAHASAN
MAHABBAH (CINTA)
A.    Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[1] Cinta adalah perasaan kasih sayang dan kemesraan, pengabdian dan tanggung jawab dan membuktikan dengan perbuatan[2].
Mahabbah dalam Perspektif Tasawuf
Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut :
1.      Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
2.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3.      Mengosongkan hati dari segala-segalanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[3]
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-saraj, sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shiddiq, dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan cara dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shiddiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai.[4]
Cinta dalam perspektif Psikologi
            Secara psikologis cinta adalah sebuah perilaku manusia yang emosional di mana wujudnya adalah tanggapan atau reaksi emosional seseorang terhadap rangsangan tertentu. Dalam hal ini cinta dipengaruhi oleh interasi antara pecinta dengan lingkungannya, kemampuan pecinta tersebut, serta tipe dan kekuatan unsur pendorongnya.[5]
Kata cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir)[6].  Sedangkan dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut
kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada.[7]
Cinta seorang mukmin yang sempurna keimanannya adalah mahabbah (cinta) yang umum dan luas mencakup seluruh alam.[8] Dari beberapa pengertian tersebut dapat disipulkan bahwasanya mahabbah (cinta) adalah suatu anugrah yang mendalam di jiwa, yang mampu meluaskan rasa tanggung jawab, pengabdian dan sebagainya. Dimana tanggung jawab berarti bagaimana cara kita mengekspresikan cinta tersebut dengan perbuatan, mencintai pada sesama manusia dan alam itu adalah wujud syukur kita terhadap Allah. Dan syukur itulah bukti cinta kita pula kepada Allah.


B.     Dalil yang Mendasari
(QS. Ali-Imran : 31)
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[9]
Menurut keterangan dari al-Kalbî yang bersumber dari Abî Shalih dan selanjutnya dari Ibn Abbas, ayat 31 tersebut di atas turun berkenaan dengan klaim dari kalangan Yahudi yang mengaku-aku dan membangga-banggakan diri sebagai kekasihAllah swt., dan orang-orang yang mengasihi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[10]  Merekalah para kekasih Allah dan yang paling mencintai Allah, tidak demikian adanya dengan yang selain mereka. Demikian anggapan mereka. Namun klaim tersebut terbentur dengan satu kenyataan bahwa ternyata mencintai Allah swt., itu dengan jalan mengikuti jalan utusan-Nya yang terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. Artinya, jika mereka memang mencintai Allah swt., sebagaimana pengakuan mereka maka ikutilah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.Dalam ayat ini Allah memerintah Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang Yahudi jika mereka benar-benar mencintai Allah hendaklah mereka mengkuti ajaran Nabi Muhammad.[11]
            Pada dasarnya saat membaca Al-Qur’an kita dianjurkan dengan sebenar-benarnya berikut membaca arti dan fokus terhadap ayat tersebut. Dengan demikian kelak terasa hubungan diantara satu ayat dengan ayat selanjutnya. Ujung ayat 30 menyatakan bahwa Allah itu amat sayang dan kasih terhadap hamba-hamba-Nya. Sehingga orang yang pernah bersalah dan mengikuti amalan yang  jahat diberi kesempatan dengan banyak-banyak berbuat baik disertai memohon ampun. Tuhan selalu menerima permohonan hamba-Nya.
            Apa kesan yang terasa dalam hati yang beriman bila membaca sampai disini ? ialah cinta, kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Maka dengan sendirinyapun, hamba tersebut berkeinginan untuk membalas cinta itu. Bertepuk srebelah tangan atau tidak. Dalam suasana yang demikan datanglah ayat lanjutan ini : “katakanlah : Jika memang kamu cinta kepada Allah, tutkanlah aku, niscaya cinta pula Allah kepada kamu dan akan diampuninya dosa-dosa kamu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang.” (ayat 31)
            Maka perasaan yang tadinya masih terasa samar-samar, laksana masih mencari-cari diantara hamba dengan Tuhannya, sekarang rahasia itu telah terbuka. Dirumuskan pada ayat ini Jika sungguh-sungguh engkau mencintai Allah maka jalan buat menemui Allah mudah saja.[12]
            Sesudah diterangkan kebesaran kekuasaan Allah dan kesempurnaan-Nya, serta ditegaskan pula larangan-Nya terhadap orang-orang mukmin untuk mengadakan hubungan akrab dengan musuh-musuhnya, dan ditegasannya larangan tersebut dengan ancaman yang keras, maka dalam ayat ini diterangkan tentang jalan mencintai Allah ialah mengikuti Rasulnya, mengerjakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya. Barang siapa yang sudah mendapatkan kecintaan-Nya pasti diampuni dosa-dosanya.
C.     Asbabun Nuzul
            Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan ketika Rasulullah Saw., menyeru Ka’ab bin Al-Asyraf dan orang-orang  Yahudi mengikutinya agar mereka beriman, lalu mereka mengatakan, “kami ini anak-anak Allah dan kekasih-Nya” (Al-Maidah : 18). Maka Allah menyuruh Rasulullah SAW., agar mengatakan : “Aku ini utusan Allah kepadamu sekalian, aku menyeru kamu agar beriman kepada-Nya. Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah Aku dan kerjakanlah perintah-Ku. Niscaya Allah mencintai dan meridhai kamu.”
Ingatlah kembali salah satu sebab turunnya ayat ini, yaitu utusan dan rombongan nasrani 60 orang dengan 14 orang terkemuka sedang berada di Madinah.  Nabi Musa yang besar telah mengajarkan kepada bani Israil suatu ajaran yang berintisari pengorbanan. Sifatnya ialah jalal, kemuliaan.
            Nabi Isa Al-Masih yang agung telah membawa lanjutan ajaran yang berdasar hubb, artinya cinta. Sifat ialah jamal, keindahan.
            Sekarang datang Nabi Muhammad Saw., menyempurnakan penyerahan diri kepada Tuhan itu, ISLAM. Sifatnya ialah kamal, kesempurnaan. ayat ini meninggalkan pesan yang mendalam juga pada anggota-anggota utusan nasrani itu. Muhammad Saw., pun membicarakan dari hal cinta. Memang cintalah pintu pengajian itu, yang selalu dibuka dengan ucapan :
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ  
“Dengan Nama Allah yang Maha Murah lagi maha Penyayang”
Tetapi cinta dalam ucapan saja pun tidaklah cukup. Bahkan cinta hati tidak diikuti pengorbanan tidaklah cukup. Menyatakan cinta, padahal kehendak hati yang dicintai tidak diikuti, adalah cinta palsu. Allah tidak menyukai kepalsuan.  Kamu durhakai Allah, padahal kamu menyatakan cinta kepada-Nya. Ini adalah mustahil dalam kejadian, dan ini adalah ganjil.  Jika memang cintamu itu cinta sejati, niscaya kamu taat kepada-Nya sebab orang yang bercinta terhadap yang dicintai, selalu patuh.[13]
D.    Tafsir
            Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi untuk mengatakan kepada orang Yahudi, jika mereka benar manaati Allah maka mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad, yaitu dengan melaksanakan segala yang terkandung dalam wahyu yang diturunkan Allah kepada-nya. Jika mereka telah berbuat demikian niscaya Allah meridhai mereka dan memaafkan segala kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan serta mengampuni dosa-dosa mereka. Mengikuti Rasul dengan sungguh-sungguh baik dalam i’tikad maupun amal shalih akan menghilangkan dampak maksiat dan kekejian mereka serta menghapuskan kedzaliman yang telah mereka lakukan sebelumnya.
            Ayat ini memberi keterangan yang kuat untuk mematahkan pengakuan orang-orang yang mengaku mencintai Allah setiap saat. Sedang amal perbuatannya berlawanan dengan ucapan-ucapan itu. Bagaimana mungkin dapat berkumpul pada diri seseorang cinta kepada Allah dan pada saat yang sama membelakangi perintahnya. Siapa yang   mencitai Allah, tapi tidak mengikuti jalan dan petunjuk Rasulullah maka pengakuan cinta itu adalah palsu dan dusta. [14]Rasulullah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرَ نَافَهُوَرُدَّ (رواه البخاري)
Artinya: “Siapa melakukan perbuatan tidak berdasarkan perintah Kami maka perbuatan itu ditolak(HR. Al-Bukhari)
            Barang siapa mencintai Allah dengan penuh ketaatan, serta mendapatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengikuti perintah Nabi-Nya, serta membersihkan dirinya dengan amal shalih, maka Allah mengampuni dosa-dosanya.
            Rasulullah Saw., bersabda : “Ada tiga kelompok yang pasti merasakan nikmatnya iman : Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apapun, mencintai seseorang karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran seperti bencinya ia dijerembabkan kedalam neraka”(HR. Asy-Syaikhan, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari Anas).
            Cinta dan ibadah seorang mukmin kepada Allah WT., merupakan kebutuhan yang paling luhur dan tujuan yang paling puncak. Dengan cinta dan ibadah itu,seorang mkmin dapat mewujudkan sebesar-besarnya kebahagiaan, kegenbiraan, kesenangan, keamanan, dan ketentraman baik dunia maupun akhirat.[15]
            Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat “Tak ada yang lebih dicintai qalbu daripada khaliknya, penciptanya, yang juga merupakan Tuhannya, Sesembahannya, Walinya, Rabbnya, Pengaturnya, pemberi rizkinya, yang mematikannya, dan yang menghidupkannya. Dan demikian, kecintaan kepada khaliq adalah suatu kenikmatan bagi jiwa, kehidupan bagi roh, kesenangan bagi jiwa, nutrisi bagi qalbu, cahaya bagi akal, kesejukan bagi diri dan kemakmuran bagi batin. Bagi qalbu dan roh yang baik  itu , tak ada yang lebih nikmat  daripada kecintaan dan kesenangan kepada khalik serta kerinduan bersua pada-Nya.[16]
            Dalam ayat 31 ini Allah Swt., memberi pernyataan bahwasanya jika kita mengaku mencintai Allah maka ikutilah perintah-Nya, yang diajarkan melalui kekasihnya yaitu Nabi Saw.,  kecintaan terhadap Nabi Saw., haruslah diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan yang berorientasi kepada religiusitas yang tinggi, dengan meneladani dan mengikuti sunnah beliau. Karena ujung dari rasa cinta itu adalah peningkatan kualitas diri dalam pengamalan ajaran Islam yang beliau ajarkan. Agar kita kelak mendapat syafa’at beliau dan bersamanya di dalam surga.[17] Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt., pun berfirman dalam QS. Al-Imran : 148 yang kaitannya pada ganjaran seseorang yang telah menunaikan perintah-Nya .
(QS. Al-Imran : 148)
ãNßg9s?$t«sù ª!$# z>#uqrO $u÷R9$# z`ó¡ãmur É>#uqrO ÍotÅzFy$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇÊÍÑÈ  
Artinya : “Maka itu Allahpun memberikan ganjaran dunia kepada mereka dan sebaik-baik ganjaran akhirat. Allah amat suka kepada orang-orang yang berbuat baik(QS. Ali-Imran : 148)
Pangkal dari ayat ini Maka itu Allahpun memberikan ganjaran dunia kepada mereka dan sebaik-baik ganjaran akhirat” menjelaskan bahwa akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Tuhan, dengan syarat-syarat :
1.      Tidak mengeluh karena cobaan
2.      Tidak lesu, patah semangat
3.      Tidak mundur barang setapak
4.      Sabar menanti hasil, walaupun rasanya lama
5.      Senantiasa mengadakan koreksi dan penyelidikan atas dosa terhadap Tuhan atau pelanggaran-pelanggaran atas disiplin. Lalu memperbaikinya.
6.      Selalu memohon pertolongan kepada Allah
Dengan mematuhi keenam syarat ini ganjaran Tuhanpun datang. Permohonan mereka tidak disia-siakan. Mereka diberi kebahagiaan dunia, yaitu kemerdekaan sesudah perbudakan. Cahaya jiwa sesudah kegelapan fikiran dan dapat mengatur nasib sendiri didalam menegakkan agama. Kelak akan dapat pula kebahagiiaan akhirat, karena di dunia telah menegakkan keadilan dan kebenaran :”Allah amat suka kepada orang-orang yang berbuat baik” (ujung pangkal ayat 148)
Disinilah kunci ayat tersebut diterangkan, bahwa Allah amat suka, amat kasih kepada orang-orang yang berbuat baik, berbuat kebajikan, atau memperbaiki mana pekerjaan yang baik, menyempurnakan yang belum sempurna,        jatuh dan gagal yang pertama belum dikatakan  sebuah kegagalan, disebut sebuah kegagalan jika kita terjatuh pada kejadian dan tempat yang sama. Dan dari kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan kita sesungguhnya Allah sedang mengajarkan kita tentang kehidupan dan memperkenalkan kita pada sesuatu yang disebut sabar,  syukur dan selalu memperbaiki serta mempertinggi mutu (Muhsinin), sehingga baik dalam iman atau dalam amal, tidak bertambah mundur, tetapi bertambah maju.
Di kalangan manusia sungguh menginginkan sebuah kebahagiaan dunia namun tujuan kehidupan yang paing puncak sebenarnya yaitu akhirat. Dan Allah akan memberi apa yang kita inginkan sesuai dengan usaha kita disunia dan buah totalitasnya adalah akhirat. Tuhan tidak akan menyia-nyiakan kesungguhan usaha hamba-Nya. Misalnya bangsa Indonesia berjuang menegakkan agama Allah, memberantas kedzoliman, dan kebatilan penjaajah, lalu tercapai kemerdekaan.[18] Kemerdekaan bangsa Indonesia ini adalah pahala dunia yang Allah berikan. Dan jikalau meninggal maka akanmemperoleh pahala yang berganda-ganda di akhirat yang tak dapat digambarkan bagaimana bahagianya di akhirat kelak.
Tampaklah disini, bahwa kekalahan dan kekecewaan perang Uhud, meskipun membawa hasil  yang pahit, tetapi menyebabkan turunnya pimpinan yang demikian lengkap dan penuh kasih dari Tuhan. Yang terutama sekali menjelaskan kembali tujuan perjuanagan, untuk menghilangkan keraguan pada zaman depan. Tuhan membayangkan ummat yang dahulu berjuang dengan setia dibawah pimpinan nabi-nabi mereka. Mereka berjuang menuju ridha Allah semata-mata.  Kalau ada yang salah mohonlah ampun, kalau ada pelanggaran segeralah bertaubat. Mana yang kurang seterusnya diperbaiki Allahpun tidak melupakan mereka. Apabila ridha Allah yang di tuju sambil laludunia akan di dapat juga, yaitu kemerdekaan dan kemuliaan. Dan di akhirat akan dapat lebih berlipat ganda dari itu. Dengan begitu, maka kepahitan pengalaman di Jabal Uhud tidak akan terulang lagi.
Yang penting sekali ialah jama’ah wajib taat dan patuh kepada satu komando. Kalau nabi ditaati sebagai komando bukan satu, semua ingin menjadi pemimpin, pasti perang akan kalah. Terutama dalam susunan ketentaraan, sejak dahulu sampai sekarang, initinya ialah disiplin, menurut dengan membuta. Walaupun disuruh mati. Memang tentara untuk mati ![19]
Tentara yang baik dengan komando yang baik. Memang satu perintah diberikan pada panglimanya dengan penuh bijaksana dan perhitungan, namun melaksanakan perintah itu wajib dengan meniadakan diri. Tentara tewas tak mengapa, malahn itulah yang dihadang sejak semula. Tetapi keuntungan bukan untuk perseorangan, melainkan untuk jama’ah. Kalau secara sekarang ialah untuk negara.

















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Cinta tidak akan memberikan apapun selain dirinya sendiri, dan cinta tidak akan menuntut apapun kecuali cinta itu sendiri. Mahabbah dalam perspektif tasawuf objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan. Dan dalam perspektif psikologi cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada
Begitulah cinta yang sebenar-benanya cinta terhadap Allah, menjalankan perintah-Nya dengan mengikuti ajaran kekasih Allah yaitu Nabi Muhammad Saw. Mengimplementasikan mahabbah dalam bentuk rasa syukur terhadap-Nya dengan untaian Ibadah yang sudah ditentukan Allah dan yang dilaksakan Rasulullah. Terus berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai cinta-Nya dengan mencintai Rabb kita. Senantiasa selalu memperbaiki pribadi dan mutu baik iman maupun amal dan ilmu.  Bersabar atas segala ujian yang hadir disela-sela usaha kita.
Jika semua telah kita usahakan untuk mencintai Rabb kita maka mudah bagi Allah untuk memberi apapun yang dihharapkan kita. Karena dengan mengingat Allah hati akan tenang maka tak ada hal lain selain kebahagiaan saat kita mendekat dengan-Nya. Mencintai Allah yaitu dengan jalan menaati segala perintah dan menjauhi larangan Rasul-Nya Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban setiap Muslim. Siapa saja yang meninggalkannya maka dia kafir







DAFTAR PUSTAKA
 Ali ibn Ahmad al-Wahidi. Asbab Nuzul al-Qur’an.( Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut Lebanon, 2004)
Bachtiar Surin, Adz Dzikra, (Bandung : Angkasa, 1991), cet. 10.
Dr. Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2005), cet. 10.
Dr. Muhammad Utsman Najati, Psikologi Dalam Al-Quran, (Bandung : Setia Pustaka, 2005), cet. 1
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsir-Nya, (Jakarta : Lentera Abadi, 2010), Jilid 1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1990)
Drs. Mawardi, IAD-ISD-IBD, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000)
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1984), Juzu’ 4-5-6
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Yayasan Nurul Islam, Jilid 1)
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Taswuf, (Jakarta : PT. Rajagrafindo, 2013), cet. 12
Ust. Abdullah Farouk, Kuliah Tujuh Menit , (Surabaya : Amelia, 2005)
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Bina Aksara, Jakarta, 1998.







[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1990), halm. 96.
[2] Drs. Mawardi, IAD-ISD-IBD, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), halm. 167
[3]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Taswuf, (Jakarta : PT. Rajagrafindo, 2013), cet. 12, halm. 181
[4] Op. Cit., halm. 181
[5] Fahruddin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Tinta, Yogyakarta, 2002, hlm. 16.
[6]Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 168.
[6] Bachtiar Surin, Adz Dzikra, (Bandung : Angkasa, 1991), cet. 10, halm 215.
[7] James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 263.
[8] Dr. Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2005), cet. 10, halm 120.
[9] Bachtiar Surin, Adz Dzikra, (Bandung : Angkasa, 1991), cet. 10, halm 215.
[10]  Ali ibn Ahmad al-Wahidi. Asbab Nuzul al-Qur’an.( Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut Lebanon, 2004) h. 106.
[11] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsir-Nya, (Jakarta : Lentera Abadi, 2010), Jilid 1, halm 492
[12] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Yayasan Nurul Islam, Jilid 1), halm. 150
[13] Prof. Ham ka, ibid halm. 151
[14] Departemen Agama RI, Op.Cit., halm 493
[15] Dr. Muhammad Utsman Najati, Psikologi Dalam Al-Quran, (Bandung : Setia Pustaka, 2005), cet. 1, halm.137
[16] Ibid. Halm. 138
[17] Ust. Abdullah Farouk, Kuliah Tujuh Menit , (Surabaya : Amelia, 2005), halm 83
[18] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1984), Juzu’ 4-5-6, halm 128
[19] Ibid. Halm 128

Related Posts :

0 Response to " MAHABBAH"