MAKALAH ULUMUL HADIST
PERkEMBANGNGAN HADIST MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI'TABIIN
Dosen : Khairullah, S.Ag. M.Ag
Disusun Oleh :
Nurlita Daeng Ngai : 1341040016
Semester : 1 (satu)

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur
kehadirat Allah yang telah menjadikan setiap insan sederhana ini sebagai
khalifah di bumi. Shalawat teriring salam semoga selalu terlimpah
kepada Rasulullah SAW. Beserta keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam.
Terselesaikannya penulisan makalah “HADIS” yang membahas tentang “Perkembangan
Hadist Masa Rasulullah, Masa Sahabat, dan tabi’in ” ini tidak lepas dari keterlibatan
berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya atas kontribusi semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
Makalah ini disajikan di samping
sebagai pemenuhan tugas kuliah, makalah
ini juga disajikan guna menambah wawasan penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Akhir kata, tiada gading yang
tak retak. Penulis menyadari makalah ini
masih sukar dikatakan sempurna maka
dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran sebagai pemacu untuk pembuatan makalah di masa yang akan datang.
Bandar Lampung, 23 September 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Hadist Masa Rasulullah SAW................................................................... 2
2.2. Hadist Masa Sahabat................................................................................. 8
2.3. Hadist Masa Tabi’in................................................................................. 14
BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat
islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits
belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabt
khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan
tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat
yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun
para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi saw dalam
menafsirkan dan melaksanakanketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an mereka belum
membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum
diabadikan dalam tulisan. Baru setelah
beberapa dekade usai wafatnya Nabi saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk
menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan melalu secara bertahap,
seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat penulisan hadits makin
dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam
setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
STUDY HISTORIS ISLAM (ERA PRA KONDIFIKASI
HADIST)
2.1. Hadist Masa
Rasul
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa
At-taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam.[1] Pada
masa ini, hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian
sepenuhnya seperti al-Quran. Para sahabat, terutama yang mempunyai tugas
istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat
Al-Quran di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi, tidak
demikian halnya terhadap hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan
petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi SAW dalam menafsirkan dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan di dalam al-Quran.[2] Wahyu yang diturunkan
Allah SWT kepada Rasul dijelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al),
dan penetapan (taqrir)-nya. Jadi apapun yang didengar, dilihat, dan
disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah
mereka.[3]
Pada saat itu para
sahabat menyampaikan sesuatu dari hadist Nabi SAW hanya melalui lisan dan
pendengaran saja. Karena terdapat sabda rasul yaitu : “Jangan
kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Quran. Barang siapa
menulis dariku selain al-Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu
terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim).
[4] Kemudian
rasulullah memberikan izin secara umum ketika sebagian besar wahyu telah turun
dan sudah banyak orang menghapalnya, serta aman dari kerancauan dari yang
lainnya, Rasul bersabda : “Ikatlah ilmu dengan tulisan”.
Dalam riwayat lain Sa’id al-Khudri mengatakan: “Kami
pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk menulis tetapi beliau tidak
mengizinkannya.” (al-Muhadits al-Fashil: 4/5).[5]
1. Cara Rasul SAW
menyampaikan Hadist
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
“Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.,ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. Al-Najm :3-4)
Beberapa cara rsul SAW
menyampaikan Hadist :
1) Melaluli jama’ah (majlis ta’lim)
2) Melalui sahabat dan disampaikan ke orang lain
3) Cara lain yang dilakukan Rasu SAW adalah melalui
ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh
Makkah.[6]
2. Perbedaan Para Sahabat
dalam Menguasai Hadist
Kadar penguasaan
tentang hadist, para sahabat memiliki beberapa perbedaan yang disebabkan oleh
beberapa factor : pertama, kesempatan bersama Rasulullah. Kedua, kesanggupan
bertanya pada sahabat lain. Ketiga, waktu masuk islam dan jarak tempat
tinggal dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa sahabat
yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadist Rasul SAW dengan
beberapa penyebabnya :
1) Para sahabat yang tergolong kelompok sahabat Al-Sabuqun
Al-Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin
Khattab, Ustman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak
menerima hadist dari Rasulullah SAW, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
2) Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisya dan Ummu
Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasulullah dari pada
sahabat-sahabat lainnya. Hadist-hadist yang diterimanya, banyak yang berkaitan
dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
3)
Para sahabat yang
disamping selalu dekat dengan Rasul SAW, juga menulis hadist-hadist yang
diterimanya, seperti Abdullah Amr bin AL-‘Ash.
4)
Para sahabat yang
meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para
sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
5)
Para
sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis rasul SAW banyak bertanya
kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn malik dan Abdullah ibn
abbas.[7]
3. Menghafal dan Menulis
hadist
a. Menghafal Hadist
Pada masa nabi SAW., kepandaian baca tulis
dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal,
memahami, mematerikan, dan memantabkan hadist dalam amalan sehari-hari, serta
mentablighkan kepada orang lain.[8] Sabda Rasul :
لاَتَكْتُبُواعَنَّي
وَمَنْ كَتَبَ عَنَّي غَيْرَ لْقُرْ آنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدَّثُوْا حَرَجَ وَمَنْ
كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمَّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَ هُ مِنَ النَّار (رواهمسلم)
“Janganlah kalian tulis apa
saja dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain
Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan apa saja yang diterima dari ku, ini
tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengajaa hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim).
Maka dari itu Segala hadist yang
diterima dari Rasulullah kepada sahabat diingatnya dengan sungguh-sungguh dan
hati-hati, dari sinilah para sahabat
termotivasi untuk menghafal hadist beliau. Karena, pertama kegiatan menghafal
merupakan
budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal
kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui
doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadist dan menyampaikannya kepada orang lain.
b.
Perintah
Menulis Al-Hadits
Bagaimanapun,
pengetahuan orang Arab tentang
baca-tulis di Mekah lebih banyak dari pada di Madinah. Hal ini
Rasulullah memerintahkan kaum kafir Mekah yang tertawan dalam perang Badar
untukk meenebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak
di Madinah. Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, orang yang bisa menulis semakin
bertambah. Seorang penulis indah bernama Abdullah bin Sa’id bin Al-Ash
mengajarkan tulis-menulis kepada para peminat di Madinah.[9] Ada dugaan kuat bahwa sembilan Masjid pada
masa Rasulullah digunakan untuk sebagai tempat menyebarkan ilmu.setelah
diketahui berdasarkan sensus, “tercatan ada serubu lima ratus orang pria
menyatakan dirinya Islam.[10]
Di samping melarang menulis hadits, Rasulullah
SAW juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis
hadits. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra menerangkan
bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW
beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Pada waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang
laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya
kepada Rasulullah saw., ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab
Rasul, “Tulislah oleh kamu sekalian unutknya!”[11]
Dan
tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah,
selain hadits ini. Sebab, Rasulullah SAW dengan tegas memerintahkannya. Sejarah
telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari
beberapa sahabat dan tabi’in.
Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah
hadits antara lain sebagai berikut.
Abdullah
bin Amr bin Ash ra (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah
seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi
Muhammad SAW. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka
mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang
beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan
kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera
menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah
SAW, “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar
daripadanya, selain hak.” (HR Abu Dawud) dan Abu Hurairah pernah
mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku
selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul
Baari: 1/217).[12]
Rasulullah SAW mengizinkan Abdullah bin Amr bin
Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah
seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah,
karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.
Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits
sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal
penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits
tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada
kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab
Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmizi, dan Sunan Ibnu
Majah.
Jabir
bin Abdullah al-Anshari ra (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir.
Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh,
shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”
Human
bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru
kepada sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah
SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang
dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138
hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil
hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali
menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa
bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas
adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh
para sahabat dan tabi’i yang muncul pada abad pertama.
Nas-nas yang melarang menulis hadits di satu
pihak dan yang mengizinkan di pihak lain bukanlah nas-nas yang saling
bertentangan satu sama lain, akan tetapi nas-nas itu dapat dikompromikan
sebagai berikut.
Bahwa larangan menulis hadits itu adalah
terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur
dengan al-Quran. Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah
banyak yang mengenal al-Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus
dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah
boleh.
Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum,
sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian
tulis-menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak
dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada
orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan
menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.
Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan
kepada pengusung orientalis yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis
pada abad kedua atau hadits tidak pernah ditulis pada masa Nabi SAW.[13]
C.
Hadist Pada Masa Sahabat (Khulafa Al-Rasyidin)
Secara umum para ulama hadist mengatakan bahwa yang dikatakan sahabat
adalah umat islam yang pernah melihat Rasul Allah.
Para ulama mendefinisikan sahabat sebagai berikut :
1) Muhammad Nawawi al-Jawi
berpendapat bahwa orang yang dinyatakan sahabat Nabi itu adalah setiap mukmin
yang berkumpul dengan Nabi setelah beliau diangkat menjadi Rasul, meskipun
belum ada perintah untuk berda’wah. Yakni, dengan pertemuan yang saling
mengenal walaupun dalam keadaan gelap, buta, belum baliqh, bahkan hanya sekedar
bertemu atau melihat atau dilihat Nabi kendatipun dengan jarak jauh,
hal ini dinyatakan tetap sebagai sahabat Nabi.
2) Al-Bukhari menyatakan
yang disebut sahabat itu adalah orang yang menyertai Nabi atau melihatnya
sedangkan dia dari kalangan orang-orang islam, maka ia adalah sahabat.
3) Menurut Ibnu Hazm bahwa
yang dinamakan sahabat Rasul itu adalah setiap orang yang pernah bersama-sama
dengan nabi dalam suatu majlis,walaupun sesaat dan dapat mendengarkan
pembicaraan Nabi walaupun sekalimat atau dapat melihat sesuatu yang ia
memahaminya dari Nabi itu.
4) Ibnu al-Shalah dalam
muqaddimah bukunya mengatakan bahwa menurut kalangan ulama ahli hadist, seperti
yang dinyatakan oleh Ibnu al-Mudhaffar al-sam’ani, bahwa yang dinamakan sahabat
nabi itu adalah orang-orang yang meriwayatkan hadist secara langsung dari Nabi
walaupun hanya satu buah saja.Bahkan menurut para ulama, orang yang hanya
melihat Nabi bias disebut sebagai sahabat.[14]Jadi,
sahabat adalah orang yang menyertai Nabi selama beliau menyebarkan Risalah
kenabiannya. Di sini peranan sahabat dalam membantu nabi sangat berarti, baik
ketika Nabi hidup, maupun setelah wafatnya,terutama dalam menyebarkan da’wah
Islam ke seluruh jazirah Arab.Bahkan mereka berhasil menciptakan generasi yang
lebih baik setingkat berada dibawah mereka yaitu generasi tabi’in.
Periode ini disebut ‘Ash-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi
dan menyedikitkan riwayat. Nabi SAW. wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya,
beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadist yang harus dipegang dalam seluruh aspek kehidupan umat.[15]
Pada masa ini,
khilafah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadist, namun beliau
terus-menerus mempertimbangkan penulisan sunnah, padahal sebelumnya ia berniat
mencatatnya. Diriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair bahwa Umar bin Khatab ingin menulis hadist. Ia lalu meminta pendapat kepada para sahabat
Rasulullah dan umumnya mereka menyetujui. Tetapi masih ragu Umar lalu selama sebulan melakukan istikharah, memohon
petunjuk Allah tentang rencana tersebut. Suatu pagi, setelah mendapat kepastian
dari Allah, Umar berkata :”Aku telah menuturkan kepada kalian tentang
penulisan kitab hadist, dan kalian tahu itu.Kemudian aku teringat bahwa para
ahlikitab sebelum kalian telah menulis beberapa kitab disamping Kitab Allah, namun ternyata mereka malah
lengah dan meninggalkan kitab Allah. Dan Aku demi Allah, tidak akan mengaburkan
Kitab Allah dengan sesuatu apapun untuk selama-lamanya.” [16]
Pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar, periwayatan tersebar secara
terbatas. Penulisan hadist pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi.
Bahkan pada masa itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan
Hadist, dan sebaliknya, umar menekankan agar para sahabat mengerahkan
perhatiannya untuk menyebarluaskan
Al-Qur’an.[17]
Ada
dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadsit dari Rasul SAW. Pertama, dengan
jalan periwayatan Lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasul SAW. ), dan Kedua, dengan jalan
periwayatan maknawi (maknanya saja).[18]
Menurut
‘Ajjaj Al-Khatib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu
dengan lafzhi bukan dengan maknawi . Dalam hal ini Umar bin Khatab berkata : “Barang
siapa yang mendengar hadist Rasulullah
kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu akan selamat.”[19]
Diantara
sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan lafzhi adalah Ibnu
Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang
membacakan hadist yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya
dari Rasul SAW., seperti yang dilakukan terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika
seorang sahabat menyebutkan hadist tentang lima prinsip dasar Islam dengan
meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.[20]
Periwayatan hadist dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya
hadist-hadist yang redaksinya antara satu hadist dengan hadist yang lainnya
berbeda-beda, meskipun maksud dan tujuannya sama. Hal ini sangat tergantung
kepada para sahabat yang meriwayatkan hadist-hadist tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para
sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya
dalam lembaran- lembaran mushaf, dan
dalam hati mereka.[21]
Cara para sahabat menerima hadis pada masa Rasulullah Saw
berbeda dengan cara yang dilakukan oleh generasi setelah itu. Cara para sahabat
menerima hadis dimasa Nabi Muhammad Saw yaitu dilakukan oleh sahabat yang dekat
dengan beliau, seperti Khaula Faurra Syidan, dimasa Nabi parasahabat mempunyai
minat yang besar untuk memperoleh hadis dari pada Nabi Muhammad Saw , oleh
karena itu mereka berusaha keras mengikuti Nabi Muhammad Saw agar
perkataan, perbuatan atau taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka lihat
secara langsung. Jika diantara para sahabat ada yang berhalangan maka dicari
sahabat yang lain untuk dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan
Nabi Muhammad Saw.
Setiap Nabi menyampaikan sesuatu hukum atau melakukan ibadah apapun
jangan sampai tidak ada sahabat yang melihatnya. Siapa diantara sahabat yang
bertugas menemui dan mengikuti Nabi serta mendapatkan hadis dari beliau, maka
ia segera menyampaikan untuk sahabat-sahabat yang lain.
Dalam hal ini ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat
untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw :
1. Para sahabat selalu
mendatangi pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah
selalu menyediakan waktu bagi para sahabat untuk menyampaikan berbagai ajaran
agama Islam. Para sahabatpun selalu berusaha mengikuti berbagai majelis yang
disitu disampaikan berbagai pesan-pesan keagamaan walaupun mereka mengikuti
secara bergiliran.Jika ada sahabat yang tidak bisa hadir maka disampaikan oleh
sahabat-sahabat yang hadir.
2. Rasulullah Muhammad Saw
sendiri yang mengalami berbagai persoalan yang Nabi sendiri yang
menyampaikan persoalantersebut kepada para sahabat, jika sahabat yang hadir
jumlahnya banyak maka apa yang disampaikan oleh Nabi dapat tersebar luas.
3. Diantara para sahabat
mengalami berbagai persoalan kemudian mereka menanyakan langsung kepada
Rasulullah Saw tentang bagaimana hukumnya terhadap persoalan tersebut.
Kemudian Rasulullah Muhammad Saw segera memberikan fatwa atau penjelasan
hokum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang dialamisahabat apakah kasus yang
terjadi pada diri sahabat itu sendirimaupun terjadi pada sahabat
yang lain.Pokoknya jika diantara para sahabat mengalami satu-satu
masalah, para sahabat tidak merasa malu-malu untuk datang secara langsung
menanyakan pada Rasulullah Saw. Jika ada juga para sahabat yang malu bertanya
langsung pada Rasulullah maka sahabat mengutus sahabat yang lain yang berani
menanyakan secara langsung tentang peristiwa apa yang dialami sahabat pada
waktu itu, sehingga tidak ada persoalan yang tidak jelas hukumnya.
4. Kadang-kadang ada juga
sahabat yang melihat secara langsung Rasulullah Saw melakukan satu-satu
perbuatan, hal ini berkaitan dengan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan
ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya. Para sahabat yang menyaksikan
hal tersebut segera menyampaikan untuk sahabat yang lain atau generasi
sesudahnya,
diantaranya yaitu
peristiwa yang terjadi antaraRasulullah dengan malaikat Jibril mengenai masalah
iman, Islam,ikhsan dan tanda-tanda hari kiamat.[22]
Sahabat Yang
Meriwayatkan Hadist Nabi SAW
Penting untuk diketahui, bahwa para sahabat telah dianggap
banhyak meriwayatkan hadis bila ia sudah meriwayatkan lebih dari 1000
hadis.Mereka itu adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin
Malik,Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Said al-Hudri.[23]
1.
Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis di
antara tujuh orang tersebut.Baqi bin Mikhlad mentahrijkan hadis Abu Hurairah
sebanyak 5374 Hadis. Di antara jumlah tersebut 352 hadis disepakati oleh
Bukhori Muslim, 93 hadis diriwayatkan oleh Bukhori sendiri dan 189 hadis
diriwayatkan oleh Muslim sendiri.Menurut keterangan Ibn Jauzi dalam Talqih
Fuhumi al Atsar bahwa hadis yang diriwayatkannya sebanyak 5374, tapi menurut al
Kirmani berjumlah 5364 dan barada dalam Musnad Ahmad terdapat 3848 buah
hadis.
2. Abdullah bin Umar
Hadis yang beliau
riwayatkan sebanyak 2630 hadis. Di antara jumlah tersebut yang muttafaq alaihi
sebanyak 170 hadis, yang dari Bukhori sebanyak 80 hadis dan yang dari Muslim
sebanyak 31 hadis.Abdullah bin Umar adalah putra kholifah ke dua yaitu kholifah
Umar bin Khottob dan saudara kandung sayyidah Hafsah ummul mukminin.
3. Anas bin Malik
Hadis yang beliau
riwayatkan sebanyak 2286 hadis. Di antara jumlah tersebut yang muttafaq alaihi
sebanyak 168 hadis yang diriwayatkan Bukhori sebanyak 8 hadis dan yang
diriwayatkan Muslim sebanyak 70hadis.
Nama lengkap Anas bin Malik adalah Anas ibn Malik ibn an Nadzor ibn
Damdam ibn Zaid ibn Harom Ibn Jundub ibn Amir ibnGonam ibn Addi ibn an Najar al
anshori. Ia dikenal juga dengan sebutan Abu Hamzah. Anas bin Malik lahir pada
tahun 10 sebelum hijrah dan wafat pada tahun 93 H di basrah.Beliau adalah
sahabat yang paling akhir meninggal di basroh.
4. Aisyah binti Abu Bakar
Al-shiddiq (w. 58 H.)
Hadis yang beliau riwayatkan 2.210 Hadis.
5. Abdullah Ibn Abbas (3 SH – 68 H.)
Hadis yang beliau riwayatkan 1.660 Hadis.
6. Jabir Ibn Abdullah (16 SH – 78 H)
Hadis yang beliau riwayatkan 1.540 Hadis.
7. Abu Sa’id Al-khudri (w. 74 H.)
Hadis yang beliau riwayatkan 1.170 Hadis.
C. Hadist Pada Masa
Tabi’in
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Anshar’ (Masa
perkembangan dan meluasnya periwayatan hadist). Riwayat-riwayat yang saling
melengkapi menunjukkan bahwa para tabi’in dari gnerasi pertama hingga akhir
tidak menyukai penulisan hadist. Namun belakangan terlihat banyak diantara
mereka bersikap longgar terhadap masalah ini, bahkan ada yang menganjurkannya.
Pada generasi pertengahan, penulisan hadist menjadi permasalahan serius
sehingga kita dapat menduga adanya kontradiksi dalam riwayat-riwayat.
Sebenernya persoalan tidaklah rumit, karena alasan penentangtangan penulisan
hadist dari para tabi’in sama saja dengan yang dipakai oleh hulafa’
Ar-Rasyidin. Ketika alas an tersebut dicabut denganpertimbangan yang lebih
masuk akal, semuanya lalu sepakat memperbolehkan penulisan ilmu bahkan member
semangat dan dorongan.[24]
A.
Pusat-Pusat
Pembinaan Hadis
Tercatat
beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadis, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah,
Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. [25]
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena
disinilah Rasul Saw menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul Saw membina
masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Ansar, dari
berbagai suku atau kabilah, disamping dilidunginya umat-umat non Muslim,
seperti Yahudi. Dan para sahabat yang menetap disini diantaranya Khulafa
Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-Khudri,
dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in, seperti Sa’id Ibn Al-Musyayyab,
‘Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab Al-Zuhri, Ubaidullah Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud dan
Salim Ibn Abdillah Ibn Umar.25
Di antara
para tabi’in yang membina hadis di Makkah seperti Mujtahid ibn
Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn kaisan, dan Ikrimah maula Ibn Abbas. Di Kufah,
ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi,
Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah,
ialah Hasan Al-basri, Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu
‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn
Hasan.di Syam, ialah Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu
Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn
Al-Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn Abi
jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah
Ziyad ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan Muslim
ibn Yasar. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn
Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan, para sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn
Ziyad ibn Tsabit Al-Anhsari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.
[26]
Karena meningkatnya periwayatan hadist, muncullah bendaharawan dan
lembaga-lembaga (Centrum perkembangan) hadist di berbagai daerah
diseluruh negeri. Diantara bendaharawan hadist yang banyak menerima, menghapal,
dan mengembangkan atau meriwayatkan hadist adalah :
1.
Abu
hurairah, menurut Ibn al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadist, sedangkan menurut Al-kirmani beliau
meriwayatkan 5.364 hadist.
2.
‘Abdullah
ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadist.
3.
‘Aisyah,
istri rasul SAW. Meriwayatkan 2.276 hadist
4.
‘Abdullah
Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadist.
5.
Jabir Ibn
‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist
6.
Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadist[27]
B.
Pergelokan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergelokan ini sebenarnya terjadi pada masa
sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang sififin, yaitu ketika
kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibat cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok
(Khawarij, Syiah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga
kelompok tersebut).28
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif,
ialah dengan muncul hadis-hadis palsu ( Maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan- lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin
hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai
akibat dari pergolakan politik tersebut.
C. Pembukuan Hadis Pada Masa
Tabi’in
Periode ini disebut Ashr al-Kitabah wa
Al-tadwin (masa penulisan dan
pembukuan).[28]
Para tabi’in menerima ilmu dari para sahabat.
Mereka bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari mereka, menerima banyak
hadist Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan para sahabat melarang serta
membolehkan penulisan hadist.
Para Tabi’in senantiasa
meneladani para sahabat. Mereka, para sahabat, adalah generasi pertama yang
memelihara Al-Qura’an dan As-Sunnah. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para
sahabat sependapat tentang masalah pembukuan hadits.[29]
Faktor-faktor
yang mendorong Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat menolak penulisan hadis
juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka memiliki satu
sikap. Mereka menolak penulisan hadis selama sebab-sebabnya ada.
Sebaliknya, jika sebab-seba tersebut tidak ada, mereka sepakat tentang
kebolehan menuliskan hadis. Bahkan, kebanyakan dari mereka
mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadis.[30]
Diantara
tabi’in yang melarang penulisan hadis adalah Ubaidah bin Amr as-Salmani
al-Muradi (w. 72 H), Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W. 92 H), Jabir bin Zaid (w.
93 H), dan Ibrahim an-Nakha’I (w. 96 H).[31]
Ketidaksukaan
Tabi’in untuk menulis hadis itu semakin bertambah ketika pendapat pribadi
mereka dikenal oleh masyarakat luas. Mereka khawatir pendapat-pendapat itu di
bukukan oleh murid-murid mereka bersama hadis sehingga timbul kekaburan.
Kami
menyimpulkan bahwa tabi’in yang tidak menyukai penulisan hadits dan bertahan
dengan sikap ini semata-mata didorong oleh rasa tidak suka pendapatnya
dibukukan.
“Adapun kabar yang bersumber dari mereka, yang
menunjukkan keengganan generasi ini (tabi’in) menulis hadits harus ditafsirkan
dengan tidak menyalahi kesimpulan kami bahwa mereka semua adalah ulama fikih.”
Tidak ada seorang pun ahli hadits di antara mereka yang bukan ahli fikih.
Semua sikap
tabi’in itu diriwayatkan dari para ulama yang kemudian dikutip oleh sejarawan.
Hal itu menunjukkan secara jelas bahwa mereka bukan menolak penulisan hadis,
tetapi menolak penulisan pendapat pribadi. Kabar-kabar yang berisi larangan
menulis hanyalah bermaksud larangan menulis pendapat.
Hal ini
serupa dengan ketidaksukaan Rasulullah Saw dan para sahabat generasi pertama
terhadap penulisan hadis yang dilandasi kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur
dengan Al-Qur’an atau terjadi pengabaian Al-Qur’an.
Pendapat diatas diperkuat oleh kabar-kabar dari
tabi’in. Mereka mendorong penulisan hadis dan membolehkan murid mereka menulis
hadis dari mereka. Para tabi’in menulis hadis di dalam kelompok-kelompok kajian
para sahabat. Bahkan, sebagian dari mereka sangat bersemangat
menulis hadis. Bukti tentang hal ini antara lain sebagai berikut.
Sa’id bin
Jubair (w. 95 H) menulis hadis dari Ibnu Abbas. Ketika lembaran-lembaran
miliknya telah penuh dengan hadis, Sa’id menulis hadis di sandalnya sehingga
penuh dengan hadis. Diriwayatkan pula dari Sa’id bahwa ia berkata, ketika saya
berjalan bersama Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, saya mendengar hadis dari keduanya.
Maka, saya menulis hadis itu diatas kendaraan dan setelah turun saya
menuliskannya kembali.
Amir
asy-Syabi berkata, “Tulisan itu adalah pengikat ilmu.” Ia mendorong penulisan
hadis dengan berkata, Jika kamu mendengar sesuatu dariku maka tulislah
sekalipun di dinding. Ia mendiktekan hadis kepada murid-muridnya dan mendorong
mereka menulis hadis.
Tulisan-tulisan itu tersebar luas sehingga
al-Hasan al-Basri (w. 110 H) berkata, kami memiliki tulisan-tulisan yang selalu
kami pelihara. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H) juga menulis hadis. Diriwayatkan
dari Abu Qilabah bahwa ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz mendatangi kami untuk
shalat zuhur sambil membawa kertas. Ketika ia mendatangi kami untuk
shalat ashar, ia juga membawa kertas. Saya
bertanya kepadanya, Wahai Amirul-Mukminin, tulisan apakah ini? Ia menjawab, ini
adalah hadis yang saya terima dari Aun bin bin Abdullah. Saya mengagumi hadis
ini sehingga saya menulisnya.
Hal di atas membuktikan bahwa penulisan hadis
telah meluas diantara generasi-generasi tabi’in, dan tidak bisa diingkari
penulisan hadis pada masa-masa terakhir abad pertama dan masa-masa permulaan
abad kedua. Pada masa itu telah banyak lembaran dan tulisan.
Mujahid bin Jabr (w. 103 H), misalnya, mengijinkan sebagian sabatnaya masuk ke
kamarnya, lalu ia menyerahkan tulisannya kepada mereka untuk di salin.
Hisyam bin
Abdul Malik meminta salah seorang pejabat agar bertanya kepada Raja’ bin Haiwah
(w. 122 H) tentang suatu hadis. Raja’ berkata, “Saya tentu lupa akan hadis itu
sekiranya hadis itu tidak saya tulis.
Atha bin Abi
Rabah (w. 122 H) menulis hadis untuk dirinya. Ia memerintahkan anaknya
menuliskan hadis untuknya. Murid-muridnya
juga menulis hadis di hadapannya. Ia mendorong para muridnya mempelajari dan
menulis hadis.[32]
[1] Drs. M. Agus
solahudin, M.ag.dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag, Ulumul hadist:Sejarah
perkembangan hadist, (Bandung : CV Pustaka Setia,2011) cet.1 hal : 34
[3] Dr. H. Munzier Suparta M.A., Ilmu hadist(Edisi Revisi), (Jakarta
Utara : PT RajaGrafindo Persada), cet.7, hal. 73
[4]Dr. Ssubhi As-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadist:Sebab-sebab sedikitnya penulisan di masa Rasulullah,(Jakarta
: Pustaka Firdaus,2009) , cet :8. Hal: 34.
0 Response to "Makalah Ulumul Hadist, Perkembangan Hadist Masa Rasulullah, Masatabi'in, "
Posting Komentar